Pelajar Indonesia di tuntut agar aktiv belajar. Maka saya turut berpartisipasi khususnya sebagai penyedia layanan agar sama-sama kita dapat menjadi aktiv belajar!!

Cari Blog Ini

Rabu, 13 Mei 2015

Nazo : calflove



 Part 1

“Kau tau? Orang yang termiskin adalah mereka yang memiliki hutang, jadi aku sama sekali tak butuh bantuanmu karena aku tak mau berhutang budi.”
Ia tetap memungut beberapa buku yang berceceran di koridor sekolah, aku memukul tangan cowok ini saat ia hendak mengambil salah satu buku merah yang berceceran di ubin putih yang sekilas memantulkan cahaya matahari musim kemaraui. Aku melakukan itu  tanda serius menolak bantuannya, tapi ia malah memberiku beberapa buku yang berhasil ia pungut sebelumnya.
“Kalau begitu anggaplah kita impas, karena aku berutang budi sebelumnya denganmu.” ia melukiskan senyum di bibirnya dan sedikit memiringkan kepalanya kekanan.
“Berhenti melakukan senyum menjijikan itu, lagi pula aku tak pernah ingat memberimu barang atau jasa sehingga kau berutang padaku”
“Kau mungkin tidak mengingatnya, namun itu selalu membayangiku” setelah mengatakan itu ia lalu berbalik memperlihatkan punggungnya yang lebar lalu pergi tanpa sepatah kata pun.
 Sial mengapa aku harus berkata seperti itu, bukannya itu adalah salah satu kesempatan untuk mendapatkan teman disekolah yang baru saja kemarin aku pindah kemari. Apalagi Cowok tadi cukup keren dan terlihat sangat atletis , pasti di cowok populer di sini. Ah, sekali lagi aku menyesali perbuatanku itu, apalagi sok keren dengan kata-kata ku tadi yang entah dari mana ku ingat dan langsung terlintas di kepalaku untuk kugunakan di timing yang kurasa salah.
Sikapku tadi sebenarnya adalah akibat dari sikap pesimistis ku terhadap sekolah terutama kelas ini. Bayangkan saja, Kemarin saat aku baru menginjakan kaki ke tanah sekolah ini aku sudah di sambut dengan satpam yang garang, ditambah dengan guru yang bertugas mengantarkan aku ke kelas baruku mengomel sendiri saat di perjalanan menuju kelas entah monolog apa yang sedang ia bicarakan yang pasti itu membawa emosi negatif. Dan lagi setelah memperkenalkan diri didepan kelas sebagai murid pindahan tak ada satupun yang menaggapi, bahkan saat ku tanya “apa ada pertanyaan?” semua hanya diam membisu, bahkan tanpa suara jangkrik sekalipun. Untung Wali kelas yang baik hati yang tentunya bukan guru yang tadi, menayakan beberapa pertanyaan seperti alamat rumahku dan nomer telepon urang tua ku yang ku kira memang wajar ia melakukan sebagai perwalian.
Aku ditempatkan pada barisan paling belakang, di sudut sebelah kanan dekat jendela. Seorang cowok dengan senyumnya melambaikan tangan kearahku. Apa itu? Apa kau ingin mengejekku karena perkenalan singkat yang kupikir sedikit memalukan tadi. 
Bangku di sini terdiri dari satu meja dan satu kursi yang masing masing tiap meja dan kursi berpasangan dipisahkan dengan jarak setengah meter berbeda dengan sekolah lamaku yang merapatkan dua meja sekaligus dengan masing masing dua kursi di setiap pasangan dua meja tersebut. Ada lima baris dan enam kolom atau sebaliknya karena aku tak bisa membedakan mana bari dan mana kolom, atau lebih jelasnya jika kusebut lima deret di depan dan enam kebelakang, jumlahnya tiga puluh bangku dengan dua yang kosong, yang sebenarnya tiga namun salah satunya telah kuisi.
Di depanku ada seorang cowok pemalas. Ku katakan begitu karena ia tidur seharian di tiap mata pelajaran , anehnya tak ada guru yang memarahinya atau setidaknya mencoba membagunkannya.
Keesokan harinya atau sehari setelah perkenalan buruk yang memberikanku kesan negatif soal kelas ini. Saat bel pulang berbunyi, guru fisika menyuruku untuk membawa dua puluh delapan buku cetak bersampul merah yang telah kami pakai sebelumnya, untuk dikembailakan ke perpustakaan. Awalnya aku semapat ragu saat ia menunjukku “apakah yang ia tunjuk dengan jari telunjuk panjangnya itu benar-benar aku? Atau hanya kebetulan terpeleset kearahku. Tapi semua keraguan itu lenyap saat wanita tua itu membuka buku absensinya dan menyebut “Nanda Gabriela” yang kalau memang tidak salah kuingat itu adalah nama yang diberikan ibu kepadaku, serta dilanjutkan dengan mengeluarkan perintah yang sudah kusebutkan sebelumnya.
            Guru dengan kacamatanya yang menambah kesan tua itu, pergi duluan dengan memberikan amanat “Bilang pada pak Ganis penjaga perpus, ini buku dari ibu Suhaeni! Dan katakan namaku dengan jelas! Sekali lagi kuingatkan, sebutkan namaku dengan jelas Su-Hae-Ni!”
            Aku mengambil tumpukan buku tersebut. Saat hendak keluar kelas dan pertama kali menginjakan kaki di ubin koridor sekolah aku menabrak seorang cewek, yang sikapnya sangat tak acuh bahkan ia langsung pergi tanpa meminta maaf sedikit pun. Buku dalam pelukanku berceceran di lantai.
Dan, saat itulah kejadian yang membuatku menyesal, yang sebelumnya telah kuceritakan diatas terjadi. Cowok yang memberikan senyum hangat dan melambai kemarin berniat membantuku, malah aku berikan kesan buruk kepadanya dengan sikapku yang sungguh aneh itu. Ia pasti berpikir bahwa aku cewek yang aneh, tidak tau terima kasih, dan mungkin ia berpikir aku gila. Ahgg, seandainya aku orang bodoh, sudahku hantamkan kepalaku ini di tembok, namun aku bukan orang yang begitu mudahnya menyakiti diriku karena hal seperti itu karena aku tidak bodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar