07.00
Nazo : calflove
Part 1
“Kau tau? Orang yang termiskin adalah mereka yang memiliki hutang, jadi aku
sama sekali tak butuh bantuanmu karena aku tak mau berhutang budi.”
Ia tetap memungut beberapa buku yang berceceran di koridor sekolah, aku
memukul tangan cowok ini saat ia hendak mengambil salah satu buku merah yang
berceceran di ubin putih yang sekilas memantulkan cahaya matahari musim kemaraui.
Aku melakukan itu tanda serius menolak
bantuannya, tapi ia malah memberiku beberapa buku yang berhasil ia pungut
sebelumnya.
“Kalau begitu anggaplah kita impas, karena aku berutang budi sebelumnya
denganmu.” ia melukiskan senyum di bibirnya dan sedikit memiringkan kepalanya
kekanan.
“Berhenti melakukan senyum menjijikan itu, lagi pula aku tak pernah ingat
memberimu barang atau jasa sehingga kau berutang padaku”
“Kau mungkin tidak mengingatnya, namun itu selalu membayangiku” setelah
mengatakan itu ia lalu berbalik memperlihatkan punggungnya yang lebar lalu
pergi tanpa sepatah kata pun.
Sial mengapa aku harus berkata
seperti itu, bukannya itu adalah salah satu kesempatan untuk mendapatkan teman
disekolah yang baru saja kemarin aku pindah kemari. Apalagi Cowok tadi cukup
keren dan terlihat sangat atletis , pasti di cowok populer di sini. Ah, sekali
lagi aku menyesali perbuatanku itu, apalagi sok keren dengan kata-kata ku tadi
yang entah dari mana ku ingat dan langsung terlintas di kepalaku untuk
kugunakan di timing yang kurasa
salah.
Sikapku tadi sebenarnya adalah akibat dari sikap pesimistis ku terhadap
sekolah terutama kelas ini. Bayangkan saja, Kemarin saat aku baru menginjakan
kaki ke tanah sekolah ini aku sudah di sambut dengan satpam yang garang,
ditambah dengan guru yang bertugas mengantarkan aku ke kelas baruku mengomel
sendiri saat di perjalanan menuju kelas entah monolog apa yang sedang ia
bicarakan yang pasti itu membawa emosi negatif. Dan lagi setelah memperkenalkan
diri didepan kelas sebagai murid pindahan tak ada satupun yang menaggapi,
bahkan saat ku tanya “apa ada pertanyaan?” semua hanya diam membisu, bahkan
tanpa suara jangkrik sekalipun. Untung Wali kelas yang baik hati yang tentunya
bukan guru yang tadi, menayakan beberapa pertanyaan seperti alamat rumahku dan
nomer telepon urang tua ku yang ku kira memang wajar ia melakukan sebagai
perwalian.
Aku ditempatkan pada barisan paling belakang, di sudut sebelah kanan dekat
jendela. Seorang cowok dengan senyumnya melambaikan tangan kearahku. Apa itu?
Apa kau ingin mengejekku karena perkenalan singkat yang kupikir sedikit
memalukan tadi.
Bangku di sini terdiri dari satu meja dan satu kursi yang masing masing
tiap meja dan kursi berpasangan dipisahkan dengan jarak setengah meter berbeda
dengan sekolah lamaku yang merapatkan dua meja sekaligus dengan masing masing
dua kursi di setiap pasangan dua meja tersebut. Ada lima baris dan enam kolom
atau sebaliknya karena aku tak bisa membedakan mana bari dan mana kolom, atau
lebih jelasnya jika kusebut lima deret di depan dan enam kebelakang, jumlahnya
tiga puluh bangku dengan dua yang kosong, yang sebenarnya tiga namun salah
satunya telah kuisi.
Di depanku ada seorang cowok pemalas. Ku katakan begitu karena ia tidur
seharian di tiap mata pelajaran , anehnya tak ada guru yang memarahinya atau
setidaknya mencoba membagunkannya.
Keesokan harinya atau sehari setelah perkenalan buruk yang memberikanku
kesan negatif soal kelas ini. Saat bel pulang berbunyi, guru fisika menyuruku
untuk membawa dua puluh delapan buku cetak bersampul merah yang telah kami
pakai sebelumnya, untuk dikembailakan ke perpustakaan. Awalnya aku semapat ragu
saat ia menunjukku “apakah yang ia tunjuk dengan jari telunjuk panjangnya itu
benar-benar aku? Atau hanya kebetulan terpeleset kearahku. Tapi semua keraguan
itu lenyap saat wanita tua itu membuka buku absensinya dan menyebut “Nanda
Gabriela” yang kalau memang tidak salah kuingat itu adalah nama yang diberikan
ibu kepadaku, serta dilanjutkan dengan mengeluarkan perintah yang sudah
kusebutkan sebelumnya.
Guru dengan kacamatanya yang
menambah kesan tua itu, pergi duluan dengan memberikan amanat “Bilang pada pak
Ganis penjaga perpus, ini buku dari ibu Suhaeni! Dan katakan namaku dengan
jelas! Sekali lagi kuingatkan, sebutkan namaku dengan jelas Su-Hae-Ni!”
Aku mengambil tumpukan buku
tersebut. Saat hendak keluar kelas dan pertama kali menginjakan kaki di ubin
koridor sekolah aku menabrak seorang cewek, yang sikapnya sangat tak acuh
bahkan ia langsung pergi tanpa meminta maaf sedikit pun. Buku dalam pelukanku
berceceran di lantai.
Dan, saat itulah kejadian yang membuatku menyesal, yang sebelumnya telah
kuceritakan diatas terjadi. Cowok yang memberikan senyum hangat dan melambai
kemarin berniat membantuku, malah aku berikan kesan buruk kepadanya dengan
sikapku yang sungguh aneh itu. Ia pasti berpikir bahwa aku cewek yang aneh,
tidak tau terima kasih, dan mungkin ia berpikir aku gila. Ahgg, seandainya aku
orang bodoh, sudahku hantamkan kepalaku ini di tembok, namun aku bukan orang
yang begitu mudahnya menyakiti diriku karena hal seperti itu karena aku tidak bodoh.